Pages

Thursday, October 10, 2013

Hanya Bungkus Makanan

Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizohulloh berkata :
"Guru kami (Syaikh Al-Albani) rahimahullah menugaskan aku untuk memuroja'ah (memeriksa kembali) beberapa juz dari kitab As-Silsilah Ad-Dho'ifah sebelum dicetak. Lalu iapun menyerahkan jilid ke lima dari kita As-Silsilah Ad-Dho'ifah. Lalu akupun mengambil kitab tersebut yang ditulis dengan tulisan tangan beliau sebelum dicetak. Tatkala aku mengeluarkannya dari kantong dan aku melihat kitab tersebut maka akupun menangis.

Maka syaikh rahimahullah bertanya kepada ; "Kenapa engkau?"

Aku diam tidak menjawab, dan syaikh melihat air mataku mengalir.

Ternyata syaikh rahimahullah menulis kitab "Silsilah Al-Ahaadiits Ad-Dho'ifah" jilid ke lima pada kertas-kertas hadiyah, dan kantong-kantong kertas gula dan beras, yaitu bungkusan-bungkusan yang berwarna merah yang digunakan orang-orang untuk menimbang gula dan beras.

Syaikh berkata kepadaku : "Saya punya benang-benang yang saya celupkan ke tinta lalu aku letakan benang-benang tersebut di atas kertas-kertas, sehingga kertas-kertas tesebut menjadi bergaris-garis. Aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas"

Semoga Allah merahmati engkau yang telah menghabiskan umur untuk membela sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

(sumber : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=27279)

Saya (Firanda) jadi teringat dengan cerita Syaikh Abdurrozzaq hafizohulloh tatkala beliau diuji tentang tesis beliau, dan dosen penguji tatkala itu adalah Syaikh Sholeh Al-Fauzaan hafizohulloh. Syaikh Sholeh Al-Fauzan mengkritik Syaikh Abdurrozzaq yang telah mengkhususkan satu halaman hanya untuk menulis kalimat (بسم الله الرحمن الرحيم). Syaikh Sholeh Al-Fauzan menganggap hal itu adalah bentuk mubadzdzir.

Syaikh Abdurrozzaq bercerita bahwa dahulu kertas mahal dan sulit untuk didapat, sehingga beliau melihat tulisan ayah beliau syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizohulloh sampai diujung-ujung kertas. Tidak ada bagian kertas yang tersisa kosong, semuanya terisi tulisan.

http://firanda.com/index.php/artikel/sirah/541-kisah-syaikh-al-albani-rahimahullah?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+firanda%2FuIjw+%28www.firanda.com+%22Tebarkan+Ilmu%2C+Tumbuhkan+Amal%2C+Petiklah+Ridlo+Ilahi%22+-+Home%29&utm_content=Yahoo%21+Mail

Astaghfirullah...


Syaikh Albani, siapa yang tidak tahu beliau? Beliau menghabiskan banyak waktunya di tempat reparasi jam miliknya, sebagaian besar bukan untuk mereparasi jam namun menuntut ilmu pada perpustakaan yang ada di belakangnya.

Mungkin ada latar kisah terlewat ketika kita membaca riwayatnya. Ya, beliau memiliki perpustakaan sendiri, beliau sering menyalin kitab-kitab yang beliau baca. Karena baginya dengan menyalin beliau bisa menghafal isi dari setiap kitab yang beliau baca. Tapi jangan kau bayangkan bahwa perpustakaan yang dimiliki adalah perpustakaan yang berjejer rapi kitab-kitab baru atau kumpulan kliping naskah-naskah kitab yang di print di kertas putih. Namun lihatlah penuturan muridnya, beliau menulis di bungkus makanan bekas. Bungkus beras. Bungkus Gula.

Keterbatasan yang ada tidak menghalanginya untuk tetap haus akan ilmu. Ah.. Selalu saja sering kali keterbatasan menjadi alasan kita untuk enggan beranjak.

Apa yang beliau lakukan bukan hal mudah ukhty. Beliau harus bolak balik perpustakaan kota untuk bisa melahap setiap kitab yang ia inginkan, tak jarang ia membaca hingga larut. Bagaimana dengan kita? Toko Buku banyak, harga bukunyapun cenderung murah dibandingnya dengan ilmu di dalamnya, lantas mengapa sampai hari ini kita tak pernah haus akan ilmunya? Enggan membeli? Perpustakaan bisa jadi solusi.

Dan saudaraku, untuk 'menularkan' ilmu tersebut beliau harus mencari bungkus-bungkus makanan untuk menuliskan kitab. Kemudian bagaimana dengan kita? Ah.. Tidak. Saya maksudnya. Banyak media tersedia, masih saja enggan 'menularkan' nya. Jangankan menularkan untuk sekedar menengok ilmu-ilmu yang ada saja rasanya enggan.

Sibuk? Ah coba di tilik lagi, sebenarnya kita 'sibuk' atau 'sok sibuk'

Dengan bungkus makanan bekas, beliau tak hanya menuliskan ilmu tapi menularkan ilmu kepada orang-orang yang akan membacanya kelak. Di lain masa. Di lain generasi. Subhanallah.. ternyata ilmu tak pernah berbatas waktu. Meski raga tak bersentuhan dan masa tak pernah mempertemukan ternyata kita masih bisa bersapa tentang ilmu.

Ya, hanya dari bungkus makanan bekas, bungkus gula, bungkus beras yang beliau pakai saja kita bisa belajar tentang banyak hal. Maka bagaimana dengan coretan beliau pada bungkus makanan bekas itu?

-Eka Diah Arlinda-
101013

No comments:

Post a Comment