Pages

Thursday, May 23, 2013

Izinkan aku bicara tentang 'Cinta'











Izinkan aku bicara tentang 'Cinta'
Yang dengannya penulis sejenak menakar ribuan kata untuk mendefinisikannya, hanya untuk cinta.
Yang dengannya pelukis membuyar sejuta warna untuk menggambarkannya, hanya untuk cinta.
Yang dengannya aku, kau, dia dan mereka menjadi seorang pecundang bisu, menjadi tuna segala tuna, menjadi miskin, atau menjadi raja dan ratu seperti dalam cerita dongeng.

Bismillah..
Disini aku tak ingin berbicara arti cinta, tentang maknanya menurut para ahli, para sastrawan, para seniman, tapi izinkan aku bicara tentang cinta, hanya tentang cinta, hanya tentang rasanya, hanya tentang katanya, hanya tentang lakunya, menurut salah satu pecinta, aku..

Sampai saat ini saya terkesan dengan kata ini, ia bisa menjadi simbol ketegaran kekuatan, kesabaran, ketabahan, tapi di keping lain di menjadi kekhawatiran, kegundangan bahkan menjadi pesakitan.
Ketika ia hadir dalam sepi, aku bisa tersenyum dan menangis di satu waktu atau ketika di keramaian aku bisa tersenyum walaupun hati menangis atau mungkin sebaliknya. 

Pun saat memerhati sekitar, adanya tak beda. Di larut malam dan hujan deras seorang istri bisa begitu sabarnya menanti suami dirumah dengan segudang rasa, khawatir, rindu, gundah dalam do'a penantiannya. Atau seorang ibu yang di kisahkan bunda Aisyah, membagi 2 potongan kurma untuk anaknya padahal ia sendiri kelaparan. Atau seorang ayah yang bekerja tak kenal waktu untuk menafkahi anaknya, karena yang diyakini dalam satu tubuh turun rizki untuk tubuh yang lain. Atau beberapa anak manusia bangun di malam hari untuk bertemu dengan Sang Maha Cinta, di saat yang lain terlelap, disaat yang lain membiarkan diri melepas lelahnya. Sementara ia masih terjaga dalam tangisnya dan dalam pengharapannya.

Subhanallah... Indahnya. Cinta begitu mengakar dalam setiap dada mereka, Ya Allah.. aku yakin kau akan menghadiahkan kado spesial untuk para pecinta itu. karena Kau Sang Maha Cinta. 

Namun di keping lain cinta begitu terlihat miris, dia bual dalam nafsu yang menjijikan. Menjadikan anak bau kencur menjadi budak birahnya, menjadikan setiap berpasang khianat, bertekuk dalam sikap 'Menuhanan Cinta'. Akal dan fikir menjadi budak hati, nafsu. Ah Cinta, adakah itu benar adamu dalam lakunya?

Aku paham setiap kita punya rasa yang hadir dengan sendirinya, rasa yang sering tak berizin hadir begitu saja dalam adanya, bahkan tak sadar kita berlaku tanpa kendali. Tapi bukankah seorang muslim punya iman? tempat menakar setiap laku dan rasa saat bersamaan, menjadikannya lebih cantik dan berbalas kemudian lebih manis?

Setiap jiwa punya rasa yang tak ingin dipaksakan, namun IMAN menjadikannya sebuah kewajiban. Biarkan cinta tunduk dalam taatnya, dalam kesholehannya dan dalam khusyuknya. Biarkan setiap kader syurga meraih baktinya dengan menaati perintah orang tua dan Rabb-nya dengan cinta yang di landasi iman, biarlah setiap pasang anak manusia saling setia di setiap saat walau tidak setiap detik mereka bersama karena cinta yang berlandaskan iman. Atau biarkan para akhwat dan ikhwan menanti dalam mihrab sendirinya dan menjaga cintanya tanpa mereka perlu berjalan dengan orang yang bukan mahramnya karena meyakini bahwa mereka akan menjaga cinta untuk pecinta yang lain yang sama - sama mencinta Sang Maha Cinta.

Pun disini, biarlah hadir bergejolak dalam diamnya hingga ada geraknya nanti. Maka biarlah... Karena yang dikhawatirnya bukan kepada sesiapa mencinta namun alasan mencinta.

Wahai Sang Maha Cinta, aku rasakan indahnya nikmatmu namun syukur tak pernah mampu cukupi. Lantas apa yang harus ku laku? Ya Rabbi... Hanya do'a dan pengharapan yang ku ketahui.

Ya Rabb, aku yakini Engkau merindukan hamba-Mu melebihi kerinduan seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam medan perang, Engkau lebih cemburu dari kecemburuam seorang Az Zubair bin Awwan kepada Asma binti Abu Bakar, Engkau lebih cemburu di banding kecemburuan bunda Aisyah kepada madunya.

Ya Rabb, aku meminta kepada-Mu kecintaan yang mendekatkan ku pada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, kecintaan yang tak pernah membuat-Mu cemburu. 

Ya Rabb, mohon biarkan dia dalam genggam dan biarlah hanya Cinta-Mu yang bertahta paling tinggi dalam hati setiap insan beriman.

Wahai Yang Maha Membolak balikan hati tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu

Aamiin..


-Eka Diah Arlinda-
      24/05/13

Sunday, May 5, 2013

Tentang Lisan

Beberapa hari yang lalu saya ditegur seseorang perihal kesalahan saya, alhamdulillah ternyata banyak org yang sangat peduli dengan saya. Indahnya bersaudara dengan sesama muslim, tegurnya indah sebagai koreksi pada diri yang tak luput dari khilaf.

Namun ada 1 hal yang jadi perhatian perhatian saya. Berita tersebut menurut saya tidak sepenuhnya benar, pun juga tidak sepenuhnya salah. Lalu saya mencoba memahami setiap 'kata' dari berita yang beliau sampaikan, lagi-lagi tidak sepenuhnya benar dan pun tidak bisa di katakan salah. Bukankah itu berarti ada yang keliru? atau saya yang keliru memaknai? Atau perspektif setiap orang itu berbeda-beda memaknai sebuah kata/rangkaian kata?

Kali ini saya mencoba sekali lagi memahami kembali apa yang sebenarnya keliru dari berita ini, ah ya... Lisan. Sebelum sampai berita itu kepada saya ada beberapa lisan sebagai penyambungnya. Ada kata yang bertambah dan berkurang, ya mungkin itu kelirunya. Dan, ah ya... setiap orang punya cara sendiri menceritakan apa yang di lihat.

Sering kali saya merenung mengapa lisan begitu mudahnya berkata, bahkan hingga kita tak sadar tentang apa yang kita katakan, tak sadar apa akibat dari setiap kata yang ucapkan. Meskipun mungkin itu adalah kata yang sama dari yang di tangkap, meskipun itu adalah hal yang benar secara berita namun beda susunan kata, beda intonasi, beda penyampaian. Ah, Selalu ada akibat setelah sebab.

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Betapa indah nasihat dari Ibnul Qayyim Al Jauzi,  bukankah ada baiknya sebelum kita berbicara kita memikirkan dahulu apakah yang kita akan katakan itu bermanfaat? Kemudian jika hal yang kita akan katakan itu memang bermanfaat kita berpikir kembali apakah ada hal lain yang lebih bermanfaat dari yang ingin kita katakan tersebut? Subhanallah... Indahnya jika setiap masing-masing kita sebagai muslim melakukannya.  



Ya Allah... Lidah ini terlalu lancang dalam geraknya pun pula dalam diamnya, kadang sesuatu yang hak tak ia ucapkan namun sesuatu yang batil justru ia ucapkan. Lidah ini terlalu liar, hingga di katup oleh dua rahang tak jua meminim
alkan liarnya.

Ya... Ini tentang lisan, yang ucapnya tak lebih hanyalah bual belaka.. Yang ketusnya tak lebih dari pedang berkarat yang melukai... Ya... Ini tentang lisan, yang hadirnya harusnya menjadikan kita lebih beriman.



Depok, 6 Mei 2013

 -Eka Diah Arlinda-