Pages

Thursday, October 23, 2014

Yang Terlewatkan

Tahun pernikahan saya sudah menginjakan kakinya di tahun kedua, kurang dari 5 bulan yang lalu Mus'ab hadir. Ya Malaikat kecil bermata sipit itu. Hadirnya seorang anak bukan sebuah titipan biasa.

Mush'ab saat ini masih dijaga oleh nenek dan kakeknya, di karenakan kami masih tinggal bersama orang tua. Sementara saya bekerja di salah satu Yayasan sekolah islam dan suami di institusi pemerintah.

Pada awal pernikahan terus terang saya masih bisa membagi waktu untuk saya dan suami, keperluan suami hampir semua saya pegang. Pada saat itu saya merasa bahwa saya masih bisa menjadi istri sekaligus bekerja.

Namun kemudian mush'ab lahir, keragu-raguan hadir saat waktu cuti tinggal sebentar lagi. Akhirnya saya harus mengalah dengan keadaan, mush'ab tak bisa lagi saya jaga di karenakan saya sudah masuk kerja. Sedih, belum lagi harus merepotkan mama untuk merawat mush'ab, meskipun orang tua senang di titipkan cucu pertamanya.

Saya berkeyakinan tetap bisa memberikan mush'ab ASI eksklusif hingga umur 6 bulan, dan smpai saat ini saya mengusahakan terus. Meskipun harus membunuh rasa malas saya. Di kantor saya harus dapat 4 botol, sementara di rumah mush'ab mungkin sudah menghabiskan 5 botol. Sesampainya di rumah pompa ASI harus di cuci dan sterilkan, kemudian malam hari saya harus memompa lagi untuk menutupi defisit ASI saya. Belum pekerjaan rumah lainnya yang sudah menanti.

Ternyata mengerjakan 3 pekerjaan bukan hal mudah, selain jadi pegawai, menjadi ibu, saya juga seorang istri. Dari awal pernikahan, saya sudah mengazzam kan diri, saya tidak ingin keperluan suami saya orang lain yang urus, sekalipun itu pembantu.

1 bulan saya bisa melakukan 3 pekerjaan itu sekaligus. Bisa, namun kepayahan tak bisa saya tutupi. Perlahan yang biasa saya menyetrika baju setiap hari, lambat laun menjadi 2 - 3 hari sekali, setrikaan jadi menumpuk, Subhanallah.. Melihat kondisi saya yang seperti itu, ibu saya tidak tega, sempat mama yang akhirnya menyetrika baju saya dan suami, Allahu Akbar, sedih rasanya. Saya sempat marah, namun mama bilang "Gpp kok lin, iseng saja" Padahal sudah cukup saya merepotkan dengan menitipkan mush'ab.

Menginjak bulan kedua asma saya kambuh,dalam hati saya berkata "Ya Rabbi.. kuatkan hamba" 2 hari saya tidak masuk kerja, sementara pekerjaan rumahpun belum bisa saya pegang. Baju yang belum di gosok pun menggunung, dan kali itu saya harus kembali mengalah dengan keadaan. Saya relakan ladang pahala saya di berikan kepada orang lain. Astaghfirullah.

Kali ini saya tidak sedang membahas kekurangan seorang istri yang bekerja di luar, bukan itu. Sempat ketika saya kelelahan mengurus pekerjaan rumah dan mush'ab dalam gendongan, saya memasuki kamar kemudian menangis melihat tangan saya. Ukhty tau mengapa? Bukan ukhty, bukan lelah yang saya tangisi, tapi kekurang sabaran saya yang membuat saya menangis.

Saya menangis melihat tangan saya, karena itu mengingatkan saya akan kisah Fatimah Azzahra. Ya, Fatimah Azzahra binti Muhammad, Rasulullah. Tangan wanita mulia itu, tangannya sampai mengelupas ketika harus setiap hari mengaduk adonan roti untuk makan keluarganya. Allahu Akbar, rasa-rasanya tangan saya terlalu halus jika di bandingkan tangan beliau yang mengelupas itu.

Ketika kita membaca sirah sahabat, sering ada yang terlewatkan. Bahkan terlalu banyak yang terlewatkan, dan ini hanya salah satunya. Ketika kita membaca sirah Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib, mungkin kita hanya terfokus pada kisah memendam cinta satu sama lain saja. Kita terlupa, bahwa cinta yang terbingkai dengan ikatan suci itu bukan seperti cerita cinderela, setelah menikah maka bahagia selamanya. Tidak ukhty, tidak.

Kebahagiaan adalah keniscayaan di dunia ini, karena jelas dunia hanya persinggahan untuk manusia. Kebahagiaan kita dalam berumah tangga adalah usaha. Saya ingat, janji saya bersama suami adalah membangun cinta, bukan jatuh cinta, karenanya butuh pondasi, karenanya butuh usaha, agar bangunan cinta kami tinggi menggapai syurga.

Menjadi seorang ibu, seorang istri, butuh lebih dari sekedar ikhlas dan sabar menjalaninya. Peluk cium saya untuk mama yang tak pernah berkurang rasa cinta untuk anaknya. Bahkan hingga saya menikah, bahkan hingga saya sudah memiliki anak. Allahu Akbar, sayangi dia ya Allah, cukupkan segala kebutuhannya, hanya kepadaMu hamba meminta, hamba memohon kasih sayangMu untuknya.

Beberapa hari yang lalu saya tersenyum melihat curhatan salah seorang sahabat saya yang memiliki keadaan yang tidak jauh beda dengan saya.  Lillah sahabatku. Bukankah karena Allah kita memilih jalan pernikahan? Bukan kah dengan mengambil janji dari Rabb kita, kita di satukan dengan pasangan kita?

Bukankah karena hal-hal seperti ini menikah menjadi separuh agama kita? Bukankah menyediakan segala kebutuhan suami dan anak-anak kita menjadi ladang pahala untuk kita? Allahu Akbar, perkara seorang muslim itu indah bukan? Karena segala kebaikannya akan berbalas syurga?

Ukhty fillah, kita tak harus berjalan berkilo-kilo meter mencari makanan untuk makan peliharaan suami kita bukan? layaknya Asma binti Abu Bakr. Tak terbayang, betapa lelahnya jika harus menjadi Asma. Kemudian apa yang di katakan Rasulullah ketika Fatimah Azzahra meminta budak untuk membantunya? Rasulullah mengajarkan Fatimah Azzahra untuk bertasbih 33x, bertahmid 33x dan bertakbir 34x

Ya saudariku, mengingat Allah. Mengingatkan kita akan kewajiban kita "Tidaklah aku ciptakan jin dan Manusia melainkan untuk beribadah kepadaku" Cukup. Sampai disitu

Menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu, menjadi ayah ataupun suami, maka semua itu hanyalah label, harusnya kita menjadikan itu semua sebagai ibadah, alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, alat untuk membantu kita mengumpulkan bekal menghadap Allah.

Kita biarkan sebagian yang lain memilih jalan yang lebih tenang, kita biarkan ukhty fillah. Semua ini hanya sementara, semua ini hanya sebentar. Tutup mata sejenak,  genggam tangan imam kita, bismillah. Kita akan menuju jannah bersama. Allahumma Aamiin.


Eka Diah Arlinda
-171014-

No comments:

Post a Comment