Pages

Monday, June 17, 2013

“Engkau!! Dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!!!”

“Engkau!! Dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!!!”

Kalimat itu masih terngiang dalam benak ketika membaca salah satu buku Salim A. Fillah. Kalimat itu membuat sesak dada seolah Rasulullah sedang menujukan kalimat itu padaku.

"Injak kepalaku ini hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!" Abu Dzar Al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir  ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.

“kumohon Bilal saudaraku”  rintihnya

” Injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapuskan sifat jahiliyyah dari jiwaku.” Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa begitu lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi,

“kumohon injaklah kepalaku!”
Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.

Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seakan membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melengking,

"Hai anak budak hitam!"

Rasulullah yang mendengar herdikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, baginda menghampiri dan menegur Abu Dzar,

“Engkau!.”  Sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar,
“Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!”

Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon.  Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru.

“Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah.”  kata Bilal.
“Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak.”

Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah ringan andai semua bisa ditebus di dunia. Alangkah tak nyaman menyelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjuki ke wajah kita.
Lalu sebuah kesadaran menyentak,

"Engkau!! Dalam dirimu masih terdapat jahiliyyah!!!"

Tentu saja diri ini tidak ada apa apa nya jika dibandingkan dengan Abu Dzar, yang kekokohan imannya sudah tidak terbantahkan , ia yang dijuluki sang Nabi dengan gelar ” Ashdaqu Lahjatan”(memiliki lisan yang paling lurus) Sedangkan aku? Rasulullah tidak punya julukan khusus.

Jika dipaksa menyebutkan kesamaan diantara kami , ya mungkin sifat itu , Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan berlapang dada. Lisannya terkadang terlalu tajam tak menimbang perasaan. Aku merasa sifat jahiliyah seperti itu masih sering terlontar dari lisanku.

Entahlah, jika saja Rasulullah kini masih berada di tengah kita, mungkin sudah habis seluruh jarinya untuk ditunjukkan ke wajahku , sambil berkata “Engkau! Dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”  Sedih sekali mengetahui, dari berbagai kemuliaan sifat Abu Dzar, justru bagian ini lah yang mirip denganku.

Banyak kata yang terucap tak pada tempatnya, bahkan dalam keadaan 'becanda'. Adakah olok-olok yang lebih mengerikan selain menghina ciptaanNya? Makhluk seperti apa yang begitu sombongnya menghina ciptaanNya. Ya Ilahi, tolonglah. Kirimkan pasukanMu untuk membantu diri ini berubah ya Rabbi, saudara saudara yang kan membentengi diri, ibarat Harun pada Musa. Abu Bakar pada Umar. Kirimkan ya Rabbi.. Sebagai pengingat.. Agar lisan ini tak mudah mencaci, agar lisan ini tak mudah menyakiti.. Dalam ukhuwahfillah.. Dalam dekap majelis syurga.. Amiiin..

No comments:

Post a Comment